-->

Translate

Rabu, 06 Juni 2012

Apa itu Candi ?

Hasil perbincangan dengan Drs. Bhaskoro D. Tjahjono dan Drs. Winston Mambo.
Tim Lapsus : Novia, Sari, Wiji, Rudolp, Ittok, Romy.

 

Candi merupakan salah satu warisan nenek moyang bangsa kita yang perlu kita jaga kelestariannya. Relief candi adalah media visual yang memiliki fungsi historis, filosofis dan edukatif. Dengan mengungkapkan kembali sejarah suatu candi, maka kita dapat menambah pengetahuan dan belajar kearifan masyarakat tempoe doelo sehingga keberadannya sebagai unsur budaya tetap berguna bagi generasi mendatang.




Perkembangan sosial dan budaya masyarakat di sekitar lereng Penanggungan.

Mengawali perbincangannya dengan BRAVO, Drs. Baskoro Daru Tjahjono yang merupakan staf peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta menjelaskan tentang sejarah berdirinya candi-candi yang ada di lereng gunung Penanggungan. Menurut beliau candi-candi tersebut mulai berdiri pada sekitar abad 15 M tepatnya pada masa akhir kejayaan Majapahit. Namun sebelumnya Gunung Penanggungan juga pernah digunakan untuk mendirikan candi pada abad 10-11 M pada jaman Mpu Sendok di masa kerajaan Mataram Kuno, yang kemudian ditinggalkan.dan baru digunakan lagi pada abad 15.

Perbedaan kurun waktu pendirian candi tersebut terlihat pada relief yang ada, juga bentuk, susunan dan orientasi bangunan-bangunan candinya yang menunjukkan telah terjadinya pergeseran kepercayaan. Pada masa pra Majapahit atau jaman Mpu Sendok, kepercayaan asli masyarakat Jawa dilandasi oleh pemujaan terhadap arwah leluhur. Sedangkan pada masa Majapahit kepercayaan masyarakat bergeser pada pemujaan terhadap dewa. Setelah kekuasaan Majapahit berakhir, berbalik lagi pada kepercayaan asli yaitu pemujaan terhadap arwah leluhur.

Sebagaimana biasanya masyarakat yang hidup di dekat bangunan suci, maka masyarakat di sekitar candi-candi di lereng Penanggungan juga dianjurkan untuk merawat candi sebagai syarat untuk dibebaskan dari pajak. Raja memungut pajak dari masyarakat desa yang lain dan pajak itu akan digunakan untuk merawat bangunan suci. Namun masyarakat tetap diperbolehkan untuk bekerja sesuai dengan keahliannya. Selain merawat bangunan suci, sebagian besar masyarakat hiup dari bertani dan pertanian pada masa itu juga cukup berkembang.

Relief-relief yang terpahat pada dinding candi mencerminkan pola hidup dan lingkungan hidup masyarakat di sekitar daerah itu pada masanya. Kebanyakan relief candi-candi di lereng gunung Penanggungan seperti Candi Kendalisodo, Candi Wayang dan Candi Gajahmungkur adalah relief flora dan fauna. Selain itu ada juga relief yang merupakan penggalan adegan Mahabarata dan Ramayana serta cerita Panji yang merupakan cerita lokal.

Mayarakat Jawa Kuno pada masa itu sebagaimana juga dengan masyarakat lainnya memanfaatkan sumberdaya lingkungan sesuai dengan perkembangan peradaban, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya mereka sudah cukup tinggi terbukti mampu membangun candi-candi yang megah dengan peralatan yang masih sederhana. Hasil pengamatan terhadap segala bentuk, posisi, atribut, dan keadaan relief flora dan fauna di Penanggungan yang dilakukan oleh Balai Arkeologi menunjukkan perlakuan serta pemanfaatan flora dan fauna pada masanya.

Dari kelompok flora teridentifikasi tumbuhan yang kemungkinan telah dibudidayakan dan sebagai bahan makanan atau dikonsumsi yaitu kelapa, gadung dan aren. Sebenarnya, bidang pertanian pada masa Majapahit telah mengalami kemajuan, karena padi atau beras tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan setempat tapi juga susah merupakan komoditas ekspor (Tanudirjo,1993)

Relief fauna yang teridentifikasi menunjukkan hewan peliharaan seperti anjing yang berkalung, burung dan juga hewan ternak seperti angsa dan ayam. Selain itu ada juga hewan yang digunakan untuk transportasi atau dimanfaatkan tenaganya seperti kuda, gajah, keledai, sapi dan kerbau. Kemudian ada juga relief rusa yang kemungkinan sebagai hewan buruan dari hutan yan ada di sekitar lereng Penanggungan. Selain itu ditemukan juga gambar singa yang tidak ditemui di
Indonesia. Karena tidak pernah melihat langsung, bentuk singa tersebut jadi aneh dalam penggambarannya.

Masyarakat pada masa itu menganut agama Hindu Budha terbukti dari struktur candi yang mirip bangunan berundak tanpa dilengkapi bilik pemujaan. Candi-candi di Penanggungan tidak memiliki arca-arca perwujudan atau lambang-lambang yang lain sehingga kegiatan pemujaan dilakukan di altar. Candi-candi di Penanggungan berorientasi ke arah gunung (chtonis) karena tempat yang tinggi diyakini sebagai tempat yang suci, tempat bersemayamnya para dewa dan para leluhur.

Candi dan unsur lingkungan

Bangunan candi sebenarnya adalah replica atau miniature alam semesta dengan triloka-nya. Bagian paling bawah atau kaki candi melambangkan burloka atau tempat tinggal manusia. Badan candi melambangkan bhuwarloka atau tempat manusia telah mencapai kesucian dan kesempurnaan yang karenanya dapat berhubungan dengan dewa dengan pemujaan, sedangkan atap candi melambangkan swarloka atau tempat tinggal dewa. Bila dihubungkan dengan kondisi masyarakat pada masa itu, burloka-nya adalah kaki gunung tempat tinggal masyarakat, tempat pemujaan mereka adalah punden berundak atau sebagai bhuwarloka sedangkan atapnya atau swarloka adalah gunung Penanggungan itu sendiri. Triloka itu menunjukkan kesatuan antara manusia dengan lingkungannya. Rusaknya salah satu dari triloka tersebut akan mempengaruhi keseimbangan kehidupan. Oleh sebab itu masyarakat selalu memelihara candi dan lingkungannya karena mereka adalah bagian dari alam semesta sebagaimana kepercayaan mereka.

Dalam hal pendirian candi, masyarakat dulu sudah mempertimbangkan unsur lingkungan. Candi selalu didirikan di atas tanah yang subur atau memenuhi syarat dari sisi teknis. Selain itu, candi juga didirikan di lokasi yang berdekatan dengan air baik itu sumber air atau sungai. Air mempunyai peranan yang sangat besar untuk upacara-upacara keagamaan pada waktu itu. Karena itu masyarakat selalu menjaga kelestarian air dengan tidak menebangi pohon-pohon yang besar dan berupaya menanami lingkungan sekitar candi dengan pohon-pohon yang mampu mengikat air seperti beringin.

Kepedulian masyarakat akan kelestarian air tersebut tercermin dari keberadaan patirtan yang hingga kini masih tetap lestari. Patirtan atau pemandian kuno Jalatunda yang terdapat di lereng barat Gunung Penanggungan dan dibangun pada tahun 899-977 M itu masih tetap berfungsi dan mengalirkan airnya hingga sekarang. Masyarakat percaya bahwa air yang mengalir di pancuran di Jalatunda adalah amerta (air keabadian) karena berasal dari Penanggungan, yang dianggap sebagai puncak alam semesta, swarloka tempat bersemayamnya para dewa. Anggapan masyarakat itu juga diperkuat oleh adanya arca Wisnu yang berada di bagian tengah pemanian yang dianggap sebagai dewa kesejahteraan manusia.

Masyarakat di Mojokerto dan sekitarnya juga percaya bahwa air di Jalantunda itu air yang bertuah. Menurut mitos yang berkembang, orang yang minum dan mandi dari pancuran air (jaladwara) Jalatunda dapat membuat orang jadi awet muda dan bisa membebaskan dirinya dari pikiran yang kacau. Pada waktu Kerajaan Dharmawangsa Teguh hancur akibat serangan Wurawari (1016 M), Airlangga mengungsi ke Wanagiri dengan diiringi sahabat setianya. Masyarakat Bali hingga kini masih sering melakukan upacara untuk membersihkan diri dari dosa pada hari-hari tertentu di
sana.

Candi, budaya yang harus dilestarikan

Seiring perjalanan waktu, keadaan dan keberadaan tata candi pada masanya tentu mengalami perubahan bila dibandingkan dengan keadaan yang sekarang. Perubahan yang terjadi tidak hanya menyangkut perubahan fungsi dan kultur candi namun juga kondisi fisik candi maupun lingkungan alam di sekitar candi.

Di dalam kakawin Negarakertagama pupuh 58:1 terdapat pujian terhadap Penanggungan. Disebutkan ketika Hayam Wuruk, raja kerajaan Majapahit yang suka jalan-jalan itu pulang dari perjalanan keliling Jawa Timur dari Lumajang ke kerajaannya, dia melewati Pasuruan dan singgah di Cunggrang. Dari Cunggrang yang merupakan asrama para pertapa yang terletak di tepi jurang yang curam tersebut, Hayam Wuruk melihat pemandangan yang masih bagus dan menawan ke arah Penanggungan. Kondisi itu tentu tidak bisa kita temui lagi di masa sekarang. Hutan di Penanggungan kini telah gundul oleh pencurian dan penebangan liar. Selain itu juga terjadi pengrusakan tanah oleh pabrik serta pengambilan tanah secara besar-besaran untuk tanah urug (tanah penimbun).

Berdasarkan pengamatan Bravo di lapangan, kondisi hutan dari pemandian Jalatunda sampai beberapa ratus meter ke atas kini telah gundul untuk pembukaan lahan pertanian. Di sepanjang jalur pendakian menuju puncak Gunung Penanggungan, tim Bravo menemui Candi Putri, Pura, Gentong, Sinta, Lurah, Guru, Carik, Naga, dan Candi Bayi yang kondisinya cukup memprihatinkan. Keberadaan candi sebagai bangunan suci tempat upacara keagamaan masa lampau, di mata orang awam, kini tak lebih dari tumpukan batu bata tanpa makna yang tidak terawat. Relief-relief candi yang mustinya bisa menggambarkan nilai historis, filosofis maupun edukatif tidak banyak dijumpai lagi karena banyak yang hilang akibat dimakan usia atau dicuri sebagian warga masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Mungkin hanya sebuah papan nama sebagai identitas candi yang menunjukkan bahwa bangunan yang tidak terawat tersebut pernah menyimpan sejarah keagungan bangsa kita di masa lampau.

Selain gundul, hutan di Penanggungan juga banyak yang terbakar. Pohon-pohon tidak lagi punya daya ikat terhadap air sehingga banyak dijumpai titik-titik yang rawan longsor. Bila hal tersebut terus dibiarkan tanpa ada upaya untuk mencegahnya, tentunya akan berpotensi terhadap timbulnya tanah longsor. Dan tidak mustahil bila kelak kekayaan budaya yang banyak tersebar di lereng-lereng, di puncak bukit atau gunung dan di tepi-tepi jurang akan lenyap bila pengelolaan hutan di Penanggungan tidak diperhatikan.

Memang yang terjadi sekarang bukan hanya kerusakan lingkungan alam di Penanggungan, namun juga bangunan suci atau candi-candi yang ada di
sana. Budaya candi memang sudah ditinggalkan karena kepercayaan masyarakatpun sudah berubah. Keberadaannya oleh sebagian besar masyarakat awam diabaikan sehingga lama kelamaan menjadi rusak Faktor lain yang menyebabkan kerusakan tersebut adalah tindakan masyarakat yang memanfaatkan nilai ekonomis candi dengan mencuri arca-arca di sana untuk kemudian dijual.

Tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh masyarakat baik terhadap candi maupun lingkungan di sekitar candi, menurut Baskoro D. Tjahjono bisa juga terjadi karena terdapat pergeseran pola perilaku antara masyarakat Jawa Kuno dengan masyarakat modern sekarang. Masyarakat dahulu segala sesuatu yang dikerjakan dipersembahkan untuk agamanya. Mereka tidak mempunyai keinginan untuk mencari keuntungan sendiri. Bangunan candi yang mereka dirikan adalah untuk persembahan pada dewa dan raja mereka. Pola perilaku seperti itu yang jarang kita temui di masa sekarang. Masyarakat sekarang cenderung mengutamakan kepentingan sendiri dan bahkan tidak jarang mereka menghalalkan segala cara atau merugikan kepentingan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Diakui oleh Bapak Slamet, Kepala Desa Seloliman, desa terakhir sebelum menuju ke puncak Penanggungan, era reformasi juga membawa angin kebebasan pada masyarakat untuk mencuri relief-relief yang ada di candi-candi di Penanggungan. “Dengan adanya pembukaan hutan oleh masyarakat, pencurian lebih kerap terjadi. Namun polisi sendiri belum berani menangani karena jarang ada bukti. Dan itu mulai tahun 1997 dan berlangsung hingga sekarang “, jelasnya ketika ditemui redaksi BRAVO di Balai Desa Seloliman. Untuk mengatasi pencurian relief, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala telah membentuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang akan membantu polisi dalam peyelidikan kasus-kasus pencurian benda-benda purbakala.

Relief-relief flora fauna yang terpahat pada dinding candi di
sana kini sebagian tidak ditemui lagi. Hal itu terjadi karena degradasi lingkungan yang terjadi baik karena pengaruh alam maupun faktor manusia. Lokasi candi yang tersebar di Gunung Penanggungan yang cukup luas cukup menyulitkan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala dalam pemantauan. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) sebagai institusi yang bertugas untuk menyelamatkan, melestarikan dan memugar candi telah melakukan sejumlah upaya untuk menyelamatkan sisa-sisa peninggalan sejarah di lereng Penanggungan tersebut. Selain dengan menempatkan sejumlah juru pelihara candi dari beberapa penduduk yang berada di tempat keluar masuk ke Penanggungan, SPSP juga melakukan penyuluhan terhadap sejumlah aparat yang nantinya akan menegakkan kesadaran bahwa candi merupakan warisan nenek moyang yang perlu dilestarikan.

Upaya lain yang ditempuh oleh Suaka Peningggalan Sejarah dan Purbakala adalah dengan melakukan studi teknis untuk melihat sejauh mana kerusakan masing-masing candi dan bagaimana solusinya. Sedangkan upaya pembenahan masih sulit dilakukan karena selain membutuhkan biaya yang cukup besar juga tidak bisa dilakukan oleh SPSP sendiri tetapi akan melibatkan banyak sector. “Untuk melestarikan candi-candi di Gunung Penanggungan, tidak bisa hanya dari SPSP saja. Bila candinya saja yang diperbaiki namun lingkungannya diabaikan maka kondisinya akan sama saja. Karena itu kita butuh peran serta masyarakat, instansi formal seperti Perhutani dan Pemda, LSM dan lainnya”, ujar Drs. Winston Mambo, Kepala Tata Usaha Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Jawa Timur.

Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman juga turut serta berupaya untuk memelihara kelestarian hutan di Gunung Penanggungan. Melihat banyaknya penggundulan hutan di Penanggungan, bersama dengan warga masyarakat mereka berinisiatif melakukan penghijauan di
sana. Pada tahun 2002 PPLH juga mengadakan observasi situs-situs yang tersebar di Gunung Penanggungan untuk melihat kondisi dan kemungkinan upaya penyelamatan situs-situs yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah wujud kepedulian PPLH terhadap kelestarian hutan dan lestarinya budaya candi-candi yang banyak tersebar di Gunung Penanggungan.

Masyarakat desa Seloliman masih percaya bahwa candi-candi itu mempunyai kekuatan gaib. Setiap tahun mereka melakukan upacara ritual yaitu acara kupatan dan mengunjungi semua situs yang ada di desa dan kemudian kupat (ketupat) yang dibawa tersebut dimakan di
sana. Nilai-nilai magis candi yang masih diyakini oleh masyarakat sekitar candi dirasa cukup menguntungkan bagi pelestarian candi. Anggapan candi sebagai tempat yang suci, angker atau dikeramatkan membuat mereka tidak berani untuk merusak. Pencurian arca-arca atau relief biasanya dilakukan oleh pendatang dari luar, sedangkan masyarakat yang sudah lama hidup di sekitar candi tidak berani untuk mengusik candi.

Kelestarian candi-candi dan lingkungannya di Gunung Penanggungan bukan tanggung jawab SPSP semata, namun tugas kita sebagai generasi penerus bangsa untuk ikut melestarikan warisan nenek moyang bangsa. Drs. Winston Mambo yang sewaktu kuliahnya dulu di jurusan Arkeologi UGM aktif di Kapalasatra, berpendapat bahwa Penanggungan cukup layak untuk dikembangkan sebagai wana wisata dan juga wisata budaya mengingat Penanggungan memiliki kekayaan budaya yang terpadat di
Indonesia dan belum ada yang menandinginya.
Sebagai salah satu sumber penulisan sejarah, keberadaan candi mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi, sebagai dasar bagi kita untuk melihat budaya kita di masa lampau. Dengan begitu kita akan dapat menikmati potensi masa lampau, betapa nenek moyang kita adalah bangsa yang maju dan beradap. Nilai-nilai tradisional yang mereka anut ternyata mempunyai dampak yang cukup menguntungkan dalam upaya pelestarian lingkungan. Kearifan yang terbalut dalam sistem religi dan kepercayaan mereka adalah upaya untuk mempertahankan keseimbangan kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar